tri dekorasi kliwonan

Kami TRI Dekorasi kliwonan disolo melayani jasa sewa tanaman hias. ,rental tanaman untuk kantor apartemenHotel.gedung di wilayah solo  dan mini garden,dekorasi pernikahan,dekorasi siraman dan dekorasi kamar penggantin.Dekorasi bunga untuk peresmian kantor.dekorasi untuk acara peresmian dan seminar dikota solo,dekorasi bunga untuk acara wisuda di solo silahkan menghubungi kami di no tlp kami 085841216585(mas budi) 081240994973    (Mas yuli)082136353410  (pak sri)Kami juga menyediakan berbagai tanaman hias untuk keperluan kantor,rumah maupun apartemen anda di kota solo. Kami siap membantu mewujudkan keindahan dan keasrian dengan tumbuhan hias sehingga hati dan pikiran menjadi segar dan fresh kami tidak memasang harga namun harga bisa menyesuaikan sesuai anggaran anda diwilayah kota solo dan sekitarnya.kami tri dekorasi kliwonan mengucapkan terima kasih atas kunjungan anda somoga hari anda menjadi lebih berkesanSilahkan kalau ma hunting ke green office tri dekorasi kliwonan04/07, JL. Raya  Kalioso-Simo km 0,8, 57378, Boyolali

Dekorasi solo

Dekorasi solo kalioso ok

Senin, 16 April 2012

Mengatur rokok,mencegah kemiskina

Mengatur Rokok, Mencegah Kemiskinan | Asep Candra | Dibaca : 502 kali Selasa, 17 April 2012 | 08:31 AM Ilustrasi Photo: Shutterstock Oleh : M Zaid Wahyudi Pada saat hampir semua negara meneguhkan komitmen untuk mengendalikan dampak buruk tembakau, Indonesia justru masih ragu. Tarik ulur kepentingan ekonomi atas nama petani tembakau dan buruh pabrik rokok mengorbankan hak hidup sehat rakyat. Sekretaris Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Margaret Chan dalam berbagai kesempatan selamaKonferensi Dunia untuk Tembakau atau Kesehatan (WCTOH) di Singapura, 20-24 Maret, mengingatkan keagresifan industri tembakau untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Dengan sumber daya yang dimiliki, industri tembakau mampu memengaruhi penentu kebijakan pengendalian tembakau di berbagai negara. Marry Asunta dari Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (SATCA) mengatakan, kasus hilangnya Ayat 2 Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentangKesehatan merupakan bukti kuatnya intervensi industri rokok dalam memengaruhi kebijakan. Hilangnya ayat yangmenyebut produk tembakau sebagai zat adiktif secara gamblang mempertontonkan perselingkuhan industri tembakau dengan politisi dan birokrasi. Setelah ayat tembakau dikembalikan, berbagai upaya menggalang dukungan publik melalui akademisi dan organisasi keagamaan dilakukan, termasukmendorong pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dalam memperjuangkan kepentingan, industri tembakau menggunakan petani tembakau, buruh pabrik, dan industri rokok rumahan sebagai tameng. Kelompok ini selalu ditonjolkan sebagai korban berbagai kebijakan pengendalian tembakau. Padahal, saat aturanpengendalian tembakau di Indonesia masih parsial, dan penegakannya masih lemah sepertisekarang, petani tembakau dan buruh pabrik sudah lebih dulu tersisih. Petani tembakau, buruh, dan industri rokok rumahan tersisih karena tak mampu bersaing dengan hegemoni industri rokok besardan multinasional. Jeratan tengkulak dan sistem ijon pada petani tembakau membuat mereka sulit lepas dari kemiskinan. Buku Ekonomi Tembakau di Indonesia yang ditulis Sarah Barber dan rekan tahun 2008 menyebut, jumlah petani dan pekerja di industri rokok terus menurun. Jumlah petani tembakau, petani cengkeh, danpekerja industri manufaktur rokok 1 juta-1,2 juta orang. Porsi terbesar adalah petani tembakau, yaitu 503.000 orang. Konversi tanaman Penelitian Triasih Djutaharta dari Lembaga DemografiFakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD-FE UI) dan rekan tahun 2010 dalam artikel ”The Impact of Excise Increase on Income of Tobacco Farmers” (Dampak Kenaikan Cukai Rokok terhadap Pendapatan Petani Tembakau) menyebut, 36,1 persen rumah tangga petani tembakau memiliki pendapatan kurang dari Rp 1 juta per bulan. Hanya 39 persen petani tembakau menanam tembakau saja. Sisanya juga menanam tanaman lain yang lebih menguntungkan, seperti padi, jagung,ataupun tanaman hortikultura lain. Artinya, konversi petani tembakau menjadi petani tanaman lain relatif mudah dilakukan jika pemerintah serius hendak mengendalikan tembakau. Luas areal yang ditanami tembakau berfluktuasi. Demikian pula tingkat produksinya. Rendahnya produksi tembakau dipicu rentannya tanaman tembakau terhadap perubahan cuaca dan serangan hama. Pada saat sama, impor tembakau dari China, India, dan sejumlah negara lain terus meningkat. Tahun 2007, produksi tembakau 164.851 ton, sebanyak 46.834 ton diekspor.Pada saat sama diimpor 69.742 ton tembakau. ”Pendapatan yang rendah membuat petani sensitif jika ada kebijakan yang akan mengubah pendapatan mereka. Ini membuat mereka mudah dimanfaatkan pengambil kebijakan dan industri tembakau,” kata peneliti Pusat Kajian Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI Hasbullah Thabrany. Nasib petani dan buruh pabrik itu berkebalikan dengan para pemilik pabrik rokok. Pemilik pabrik rokok besar selalu masuk dalam daftar orang-orang terkaya di Indonesia. Miskin dan penyakitan Pengalaman sejumlah negara menunjukkan, penandatanganan dan ratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) tidak membuat petani dan industri rokok tutup. Industri tembakau di China, Jepang, dan India tetap bertahan meski ada aturan ketat untuk mengendalikan peredaran rokok. Sifat adiksi pada rokok tak membuat perokok berhenti merokok walau ada aturan ketat. Aturanpengendalian tembakau bukan untuk melarang orang merokok, melainkan mengatur dan membatasi agar dampak buruk rokok tak mengenaimereka yang tidak merokok serta mencegah bertambahnya jumlah perokok remaja dan perempuan. Peneliti LD-FE UI, Abdillah Ahsan, menunjukkan, pengeluaran untuk rokok keluarga miskin tahun 2009 menempati urutan kedua setelah beras. Pembelian rokok sering kali lebih diprioritaskan daripada pangan bergizi, seperti daging, telur, buah, serta biaya pendidikan dan kesehatan. Kondisi ini ironis di tengah besarnya jumlah anak kurang gizi, tingginya angka putus sekolah, dan rendahnya biaya kesehatan. Dosen Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM UI, Endang L Achadi, mengatakan, dampak kurang gizi pada anak balita adalah pendek, kemampuan kognitif rendah, danpeningkatan risiko penyakit, seperti hipertensi dan diabetes saat dewasa. Rokok jugamenjadi faktor risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis. Kementerian Kesehatan menyatakan, konsumsi rokok tahun 2010 menyebabkan pengeluaran tak perlu sebesar Rp 231,27 triliun. Rinciannya, untuk membeli rokok Rp 138 triliun, biaya perawatan medis Rp 2,11 triliun, dan hilangnya produktivitas Rp 91,16 triliun. Pengeluaran ini jauh lebih besar dibandingkan perolehan negara dari cukai dan rokok. Jika tak segera dikendalikan, pemerintah akan kesulitan menjamin pembiayaan kesehatan masyarakat miskin dalam Jaminan Kesehatan Semesta ( universal coverage )yang akan diberlakukan pada tahun 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar